A. PENDAHULUAN
Betapa berat tanggungan seorang ibu dikala mengandung dan demikian pula kalau sudah datang waktunya melahirkan. Dengan mengerahkan seluruh perhatian, jiwa raga dan tenaga si ibu melahirkan jabang bayinya dengan harap-harap cemas. Berharap si bayi yang dilahirkannya sehat dan sempurna keadaan sebagai sempurna anggota badannya.
Setelah jabang bayinya dilahirkan, betapa kasih sayang ibu kepada si bayi, seakan-akan segala yang ada pada ibu adalah untuk anaknya. Jiwa, raga perhatian semua ditumpahkan untuk si jabang bayi itu, agar si bayi selamat sentosa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang baik.
Kasih sayang ibu pada buah hatinya tanpa pamrih. Kalau si banyi menangis segera dicari sebabnya, apakah si bayi ingin menetek (minum susu), ataukah digigt nyamuk, atau dia pipis tidak nyaman karena pakaiannya yang basah dan di usahakannya supaya si bayi tidak mengis dan bersedih lagi.
Mengapa demikian besar kasih sayang ibu kepada anaknya. Padahal waktu belum mengandung seakan belum mau mempunayi anak. Atau karena anaknya sudah dua tiga ingin tidak ada yang ke empat. Tetapi kalau dikarunia Allah anak yang selanjutnya kasih sayang ibu ibu tidak ada bedanya antar yang pertama yang kedua dan yang seterusnya.
Dari mana datangnya kasih sayang ibu pada bayinya, padahal tiada pamrih. Lain dengan cinta seseorang kekasih pada pacarnya, yang kalau kekasihnya tiada terbales bisa berbalik pada kebencian. Tetapi kasih ibu bagaimanapun tidak akan berubah dan hilang, walaupun si anak tiada membalas kasih dan cinta ibu.
Memang itu adalah karena hidayah, anugrah dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hidayah itu di sebut insting atau naluri, dalam ilmu agama disebut “Hidayah-ghariziyyah”.
A. KEWAJIBAN KEPADA IBU.
Menggambarkan kasih sayang ibu kepada anaknya, seseorang penyair mesir berdendang sebagai berikut:
“Sepenting-penting kewajiban memuliakan ibuku
Sesengguhnya ibuku lebih berhak untuk dimuliakan;
Dia mengandungku denga rasa berat dan setelah mengandungku.
Dia menyusuiku sampai datang masa merapih;
Dia merawatku sampai pun di gelapan malam, sehingga dia
Tinggalkan tidurnya demi tidurku;
Dengan lemah lembut dia mementingkan daku sehingga hilanglah
Kelemahanku dan menjadi kuat tulang belulangku;
Dia pentingkan daku dengan pertolongannnya dan terus menerus
Meminumku dengan hati-hati dan menyuapiku makanan;
Maka untuk bundakulah segala pujian setelah pujian kepada Tuhanku;
Dan kepada-Nya lah kuhadapkan sykur sepanjang masa.
Demikian kira-kira gambaran penyair betapa seseorang harus memuliakan ibunya karena memang jasa ibu kepada anaknya tidak bisa dihitung dan tidak bisa ditimbang.
Betapa jasa orang tua kepadanya anaknya itu, menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab “Al Jamiu’ush-Shahih” yang terkenal dengan nama kitab Shahih Muslim dalam kitabulah’itq, dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw. besabda yang artinya:
“Tidak akan (dapat) membalas seseorang anak kepada orang tuanya, kecuali si anak itu mendapatkan orang tuanya sebagai hamba sahaya, kemudian si anak membelinya dan memerdekannya”.
Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada anaknya, dan mereka mempunyai tanggung jawab yang besar pada anaknya tersebut. Jasa mereka tidak bisa dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali mengembalikan menjadi orang yang merdeka sebagai manusia yang mempunyai hak kemanusian yang penuh setelah menjadi budak sahaya karena sesuatu keadaan yang tidak diinginkan. Zaman sekarang tidak ada lagi perbudakan.
B. BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA.
Seseorang anak di dalam ajaran islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dala keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai si anak menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun orang tua berbuat lalim kepada anaknya. Seandainya orang tua berbuat lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan sekali-sekali si anak berbuat tidak baik, atau membalas dan mengimbangi ketidak baikan orang tua kepada anaknya, Allah tidak meridhainya sehingga orang tua meridhainya. Sebagaimana diterangkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh hajjaj dari ibnu Abbas, beliau bersabda yang artinya:
“Tiada ada seseorang muslim yang mempunyai ayah dan Ibu yang keduanya muslim, dia mengharap kebaikan orang tuanya, kecuali dibukakan baginya dua pintu surga. Kalua salah seseorang kedua ibu bapaknya marah kepada anaknya, Allah tidak ridha pada si anak tersebut, sampai orang orang tuanya meridhainya. Kemuduian ditanyakan: Bagaimana kalau kedua orang itu lalim. Di jawab oleh Ibnu Abbas: Walaupun keduanya menganiaya!
Perkataan Ibnu Abbas itu memberikan pengertian bahwa bagaimanapun keadaan si orang tua terhadap anaknya akan dijadikan ukuran bagaimana keridhaan Allah kepadanya.
C. BERKATA HALUS DAN MULIA KEPADA IBU DAN AYAH.
Segala sikap orangb tua terutam ibu memberikan yang kuat terhadap sikap si anak. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si anakpun berkata halus, kata-kata mulia yang dipakai oleh ayah dan ibu tentu saja menurut adat istiadat yang berlaku. Dan apabila si ayah dan si ibu menggunakan kata-kata kasar, si anakpun menggunakan kata-kata yang kasar. Sebab si anak mempunyai insting yang meniru. Yang lebih mudah ditiru adalah yang paling dekat dengannya, yaitu orang tuanya, terutama ibunya. Agar si anak berlaku lemah lembut kepada orang tuanya haruslah dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana si anak harus berbuat, bersikap, dan berbicara.
D. BERKATA LEMAH LEMBUT KEPADA AYAH DAN IBU.
Dalam ayat 23 dan 24, surat Al-Isra’, Allah memerintahkan setiap manusia berkata mulia dan merndahkan diri terhadap ibu dan ayah, dalam hadits diperjelaskan lagi olh Rasulullah bahwa harus berkata lemah lembut kepada kedua orang tua. Berkata yang menyinggung hati dan melukai ibu dan ayah adalah perbuatan yang durhaka disebut “uquuqul-qalidain”, durhaka kepada kedua orang tua. Dan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar. Dosa besar dengan uquuqul-walidain ini dapat dihapuskan dengan cara meminta maaf kepada ayah dan ibu dimaafkan oleh ayah dan ibunya. Dan dengan berkata halus dan lemah lembut serta menanggung serta menanggung makan kepadanya selama tidak berbuat dosa-dosa besar lainnya akan masuk surga.
E. MANA YANG HARUS DI DAHULUKAN ANTARA AYAH DAN IBU.
Sukar untuk dibeda-bedakan antara ayah dan ibu, keduanya harus kita muliakan. Jangan sampai kita berbuat baik hanya kepada ayah saja atau hanya ibu saja. Kalau kita mempunyai rezeki dari Allah, kita ingin memberikan kedua orang tua kita, maka sebaiknya kedua-keduanya merasakan senang dan bahagianya si anak. Akan tetapi dalam kehidupan kita terdapat suatu waktu yang kita harus mendahulukan salah satu, ayah dulu atau ibu dulu?
Mungkin ada yang beranggap bahwa ayah dulu karena ayah yang berusaha mencari nafkah. Dan ayah yang mempunyai kedudukan dalam berumah tangga, ayah menjadi pejabat yang dihormati di daerahnya,n dan sebagainya, yang anggapan masyarakat tentang seeorang si ayah lebih tinggi pangkatnya dan drajatnya daripada si ibu. Sedangkan si ibu dalam hidupnya ikut kepada ayah.
Walaupun si ayah nafkah dan ibu tinggal dirumah mengurus rumah tangga, tidak berarti nilai si ibu lebih rendah dari pada si ayah. Sebab kebahagian rumah tangga terdapat apabila antara suami dan istri hidup harmonis dalam laksanakan kewajibannya masing-masing. Ada yang harus dikerjakan ole si ibu yang si ayah tidak bias, ada yang harus dikerjakan si ayah yang si ibu tidak bias kerjakan. Dalam pembagian tugas ini apabila dilakukan dengan harmoni akan terbrntuk kerasian dan kepatutan dan kerukunan.
Peran ibu terhadap anaknya lebih besar daripada ayah , karena ibu yang mengandungnya selama (umumnya) 9 bulan dengan susah payah. Susah memikirkan bagaimana keselamatan anaknya tidak normal, apalagi si ibu sudah tua. Kemudian diwaktu melahirkan berhadapan dengan maut walaupun sudah ditemukan teknologi modern melahirkan dengan tanpa rasa sakit, akan tetapi umumnya melahirkannya tidak di tolong oleh ahlinya yaitu dokter, bidan, atau dukun bayi. Setelah melahirkan, si ibu harus menyusuinya selama dua tahun untuk sempurnanya si bayi. Menyusui dengan ASI (air susu ibu) itulah yang terbaik untuk bayi menurut ilmu kesehatan dan kejiwaan.
F. BERBUAT BAIK KEPADA AYAH atau IBU YANG SUDAH MENIGGAL DUNIA.
Bagaimana seorang anak berbuat baik kepada ayah atau ibu yang sudah meninggal. Dalam hal ini menurut tuntunan ajaran islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dari Abu Usaid, yang artinya:
Abu Usaid berkata: “kami pernah berada pada suatu majlis bersama Nabi, seorang bertanya kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal dunia yang aku berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku”. Rasulullah bersabda: “ya, ada empat hal: mendoakan dan memintakan ampun untuk keduanya; menepati/melaksanakan janji keduanya; memuliakan teman-teman kedua orang tua; dan bersilaturrahim yang engkau tiada mendapatkan kasih sayang kecuali karena kedua orang tua”.
Hadits ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu atau ayah yang sudah meninggal dunia, antara lain:
1) Mendoakan ayah ibu yang telah tiada dan memintakan ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita.
2) Menepati janji kedua ibu bapak.
3) Memuliakan teman-teman kedua orang tua.
4) Bersilaturrahim kepada orang yang mempunyai hubungan dengan kedua orang tua.
Seluruh umat islam harus berbakti dan menghormati kepada kedua orang tua, karena dengan adanya mereka si anak bisa lahir di dunia ini. Dan mereka telah merawat si anak sejak bayi sampai dewasa dengan penuh keikhlasan dan penuh kasih sayang.
Jangan sekali-kali berkata, menyakiti dan menyinggung hati keduanya. Berkata dan menyinggung hati kedua orang tua adalah durhaka. Dan durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar. Dosa besar ini dapat dihapus dengan cara meminta maaf kepada kedua orang tua serta di maafkan oleh keduanya. Dan dengan berkata lemah lembut serta memberi makan kepadanya selama tidak brbuat dosa-dosa besar lainnya akan masuk surga.
Ahmad Syalabi, Prof. Dr., Al-Akhlak, alih bahasa Prof. KH. Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Buluugul-Maraam, Daarul Kitaabil Arabiyyah, Mesir, 1373/1954.
A. Mustofa, Drs. H. Akhlak-Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar